“Sumpah yang tinggal di Raja Ampat beruntung banget. Aku puingin ke sana”. Begitu status facebook seorang teman yang ingin sekali pergi ke Raja Ampat, namun apa daya tangan tak sampai. Raja Ampat sebagaimana diberitakan memang sangat mempesona, Kabupaten pemekaran dari Sorong itu menyimpan ribuan spesies ikan dan karang yang masih terjaga baik. Tak heran jika kemudian Raja Ampat mengeser Bunaken, Wakatobi, Banda dan Derawan dalam urusan surga di bawah laut.
Di tengah banyak teman ‘mati gila’ karena ingin pergi ke Raja Ampat, saya justru mendapat durian runtuh yang datang bersama panggilan telepon dari seorang teman lain yang bekerja disana. Teman itu bertanya apakah saya bisa dan mau membuat film dokumenter di Kabupaten (kepulauan) Raja Ampat. Sontak saja tanpa pikir panjang saya jawab mau. Siapa pula yang mampu menolak ajakan untuk pergi ke Raja Ampat yang tengah menjadi perbincangan kencang dalam jagat wisata Nusantara.
Sebenarnya tahun 2009 saya sempat menjejakkan kaki di salah satu pulau yang masuk wilayah Kabupaten Raja Ampat, yaitu Pulau Jefman yang berada di distrik Salawati. Pulau yang dibelah landasan pesawat terbang dari ujung ke ujung itu banyak ditumbuhi pohon Sukun. Kini Bandara di pulau Jefman terbengkalai, tak dipakai lagi karena telah pindah ke Bandara Dominik Eduard Osok di Sorong. Sukun dari Jefman tidak lagi menjadi buah tangan terbang ke pulau-pulau lainnya.
Berdasarkan apa yang disampaikan teman melalui telepon saya mulai menuliskan garis besar film dokumenter yang hendak dibuat dan jadwalnya. Setelah semua disepakati, dengan menumpang pesawat dari maskapai yang sekarang tak lagi beroperasi, saya berangkat ke Sorong melalui Manado. Sengaja saya lewat Manado agar bisa mampir, memanfaatkan waktu kira-kira dua belas jam melepas kerinduan kepada suasana Manado yang cukup lama tak saya kunjungi.
Jam sembilan pagi dengan menumpang pesawat berbaling-baling, saya meninggalkan Bandara Sam Ratulangi menuju Bandara Dominik Eduard Osok, Sorong. Tengah hari pesawat mendarat di Sorong dan kapal cepat yang melayani penyeberangan dari Sorong ke Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat ternyata sudah berangkat. Akhirnya saya harus menginap semalam di Sorong dan saya memilih kawasan tepian pantai yang kerap di sebut sebagai BP atau Beton Panjang untuk menginap. Hotel kecil dekat depo Pertamina Sorong memang strategis karena gampang mencari angkutan untuk pergi ke segala penjuru, di tepi pantai pun banyak tenda-tenda penjual ikan bakar sehingga tak susah jika lapar dan hendak mencari makan.
Esoknya dengan diantar oleh kawan lama saya pergi ke pelabuhan penyeberangan agar tak ketinggalan kapal. Ada dua jenis kapal yang melayani jalur Sorong- Waisai, yaitu kapal ekpres dan kapal biasa. Saya memilih kapal ekpres agar segera bisa sampai ke Waisai. Kapal penuh dan dari perbincangan penumpang-penumpang lain ternyata di Waisai akan segera digelar festival laut dan travel mart. Pantas, dan tak lama kemudian ruang terbuka di buritan kapal tempat yang sengaja saya pilih menjadi ramai. Muncul anak-anak muda yang saya kenal di televisi, Fungky Papua. Ternyata grup dancer yang terkenal lewat acara popularity show di salah satu TV swasta diundang untuk mengisi acara Festival Laut yang dipusatkan di Pantai WTC (Waisai Tourism Centre).
Dengan bekal kamera di tangan, saya terus mengabadikan perjalanan antara Sorong-Waisai. Tak lama kemudian ada yang menegur, “Liputan ya bang”. Saya mengangguk aja dan kemudian yang menegur itu menjabat tangan saya. Ternyata banyak kru stasiun televisi swasta di Jakarta satu kapal dengan saya ramai-ramai menuju Raja Ampat.
Ketika sampai di Pelabuhan Waisai, arus penumpang turun seperti tertahan. Saya lihat di depan pintu keluar banyak polisi berjaga. Ternyata penumpang ditahan sementara di dalam, karena memberi kesempatan kepada Anang dan Ashanti untuk turun duluan. Wah ternyata saya sekapal dengan Anang dan Ashanti, namun selama perjalanan tak terlihat karena mereka berada di ruang VIP.
Dengan menumpang motor jemputan saya menuju kantor PMU Coremap (Coastal Resources Management Programme). Belum ada mobil angkutan umum di Waisai, sehingga motor (ojek) adalah kendaraan penumpang utama. Dan karena hotel-hotel (juga wisma) penuh semuanya maka saya putuskan untuk menumpang tinggal di kantor Coremap, tidur dengan slepping bag di salah satu ruang kerja. Tapi buat saya nyaman-nyaman saja karena tersedia sambungan internet selama 24 jam.
Hari pertama dan kedua festival laut Raja Ampat saya tidak saksikan karena harus pergi ke daerah yang masih satu pulau dengan Waisai namun berbeda distrik. Dengan menumpang kapal speed boat saya dan beberapa teman dari Waisai pergi ke desa Sawingrai dan beberapa desa tetangganya. Arus dan gelombang laut di kepulauan Raja Ampat sebenarnya susah ditebak, terkadang tenang namun tiba-tiba bergelombang dan berarus. Untung saja motorisnya adalah motoris berpengalaman yang sudah hafal karakter laut yang dilewatinya. Meski begitu terkadang diatas speed boat terasa menunggang Kangguru.
Desa-desa di Raja Ampat semua terletak di pinggiran laut (pantai), sebelum memasuki kawasan pemukiman kita akan disambut dermaga dengan jalan dari kayu memanjang ke arah daratan. Dermaga menjadi tempat favorit untuk anak-anak bermain dan memancing ikan. Dari atas dermaga memandang ke bawah terlihat bayang hitam bergerak, wah ternyata gerombolan ikan bermain diantara tiang-tiang dermaga, luar biasa banyaknya.Di Sawingrai tak jauh dari dermaga ada guest house sederhana berdinding bambu dan beratap rumbia. Di depan ada balkon menghadap laut tempat para wisatawan bisa menikmati atraksi fish feeding, memberi makan ikan yang seolah-olah tak takut pada manusia.
Dari Sawingrai kami menuju Yenbesser, di dermaga depan kampung saya menyaksikan proses pembesaran Lobster dalam jaring yang digantung di dermaga. Anakan Lobster di tangkap dari lautan lalu dipelihara sampai ukuran tertentu sehingga memperoleh harga yang terbaik. Tak berapa jauh dari kampung ada warga yang tengah merintis pembangunan quest house sederhana, berdinding bambu dan beratap rumbia. Quest house ini akan memberi layanan paket bird watching. Pulau Waigeo dikenal mempunyai burung endemik antara lain Cendrawasih Merah.
Meski menyenangkan namun perjalanan laut terasa melelahkan. Sudah lama badan tidak terterpa panas terik dan angin laut yang kencang. Hari agak gelap ketika kami sampai di pantai WTC Waisai. Setelah mandi, tersaji menu makan malam papeda ditemani sayur pahit (campuran kangkung dan daun pepaya) serta ikan kuah woku hasil masakkan teman dari Manado. Sajian santap malam menjadi bekal indah untuk terlelap mengarungi malam.
Esok paginya saya kembali diajak mengarungi lautan menuju Manyaifun, perjalanan yang konon akan melewati kawasan yang disebut sebagai Wayag Kecil, daerah dengan taburan pulau-pulau Karang Kecil yang menjulang. Saya membayangkan salah satu scene dalam film James Bond yang diambil di Thailand. Dan benar ketika sampai di wilayah itu serasa memasuki negeri lain. Lautnya tenang dan bening, saat mesin motor boat dimatikan suasana sekitar terasa sunyi, syahdu sekali. Sesekali ada burung melintas di atas lautan, berpindah dari pulau satu ke pulau lainnya. Rasanya pingin berlama-lama disitu, menceburkan badan dari air laut yang jernih.
Namun karena diburu waktu, kami tak bisa berlama-lama di situ. Speed boat segera dipacu menuju Manyaifun, namun ternyata kampung itu kosong penduduknya. Kampung kecil berisi 20-an kepala keluarga tengah merayakan hajatan di kampung lainnya. Hanya tertinggal beberapa warga dan anak-anak. Angin mulai bertiup kencang dan langit semakin menghitam. Motoris mengingatkan agar segera berangkat karena takut terjebak hujan, arus dan gelombang.
Dalam perjalanan pulang kami singgah terlebih dahulu ke Meosmanggara untuk bertemu dengan beberapa warga sekaligus mengambil ikan asin Tenggiri. Di dermaga Meosmanggara banyak anak-anak bermain, meloncat dari dermaga salto dan meluncur indah ke lautan di bawahnya yang jernih dan dalam. Di dalam air anak-anak bermain-main diiringi liukkan gerombolan ikan yang terlihat menghitam dari atas dermaga.
Tak lama kami di Meosmanggara. Niatnya akan langsung pulang menuju Waisai, namun motoris mengingatkan untuk mengisi tambahan bahan bakar sehingga kami mampir di Pulau Paam. Pulau yang mempunyai pelabuhan cukup besar dan disingahi oleh kapal perintis yang melayani jalur hingga sampai Halmahera. Setelah mengisi bahan bakar dan meminum kopi hangat kami segera berpacu pulang ke Waisai. Perjalan pulang yang berbau spekulasi karena hari mulai gelap. Dan bagai horor, sebagian perjalanan ditempuh dengan hati yang dag-dig-dug. Arus mulai kuat, speed boat meraung-raung melawan arus. Dan gelap mulai pekat, hampir tak nampak terang disekitar. Entah bagaimana motoris bisa tahu mana lautan dan mana pulau-pulau kecil sehingga tak menabrak dinding pulau karang. Berbekal senter tangan yang dipegang oleh assisten motoris di haluan depan, speed boat terasa tidak melaju ke depan melainkan seperti terus terhempas ke belakang.
Kekhawatiran merebak di hati, sebab lautan Raja Ampat banyak menyimpan karang meja, yang besar dan tajam. Apabila mesin speedboat mati dan terhempas diatas karang maka bisa dipastikan badan speedboad yang terbuat dari fiber akan terbelah. Namun untunglah dengan perjuangan yang maha berat, assisten motoris yang basah kuyup terterpa cipratan air, akhirnya dermaga Pantai WTC bisa dicapai.
Karena esok hari minggu, maka kami tak akan kemana-mana. Dan untunglah di pantai WTC ada keramaian. Siang itu akan diadakan parade perahu hias di lautan. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ketika saya sampai dipinggir pantai telah terparkir rapi beberapa perahu gandeng yang akan mengikuti parade. Di pinggir pantai peserta bersiap-siap dengan pakaian daerah dan aneka tetabuhan.
Tak lama kemudian rombongan peserta menaiki panggung yang dibuat diantara dua perahu. Perlahan perahu bergerak menuju laut dan kemudian berputar-putar di depan dermaga WTC. Peserta menari, menyanyi diiringi musik tradisional, berputar mendekat dan menjauh dari penonton yang bersorak-sorai di pinggir pantai. Ramai para juru foto dan juru kamera mengabadikan kejadian yang langka itu. Dari antara yang menenteng kamera-kamera, saya melihat banyak wajah-wajah yang pasti tidak berasal dari Indonesia.
Sebenarnya selama seminggu lebih berada di Raja Ampat, masih banyak perjalanan lain ke pulau-pulau yang bertaburan hingga mendekati Sorong, namun ceritanya akan terlalu panjang. Pendek kata meski saya tak menyelami lautan di Raja Ampat namun tetap saya bisa menangkap keindahannya. Kekayaan ikan laut Raja Ampat bisa dilihat di pasar ikan yang letaknya tak jauh dari Pantai WTC. Penduduk raja Ampat juga beragam sehingga kebudayaannya penuh warna dan berbeda dengan apa yang banyak dibayangkan orang tentang Papua.
Saya tidak menyesal meskipun hanya sempat melihat indahnya kehidupan bawah laut dari atas speedboat atau dermaga. Ketika harus meninggalkan Raja Ampat mau tak mau saya mengatakan kepada diri saya sendiri, kalau MAW Brouwer mengatakan Sunda di ciptakan saat Tuhan tersenyum, maka Raja Ampat adalah sepotong surga yang dilepaskan Tuhan di tanah Papua.
Pondok Wiraguna, 13 Februari 2012
Sumber: Kompas.com
Di tengah banyak teman ‘mati gila’ karena ingin pergi ke Raja Ampat, saya justru mendapat durian runtuh yang datang bersama panggilan telepon dari seorang teman lain yang bekerja disana. Teman itu bertanya apakah saya bisa dan mau membuat film dokumenter di Kabupaten (kepulauan) Raja Ampat. Sontak saja tanpa pikir panjang saya jawab mau. Siapa pula yang mampu menolak ajakan untuk pergi ke Raja Ampat yang tengah menjadi perbincangan kencang dalam jagat wisata Nusantara.
Sebenarnya tahun 2009 saya sempat menjejakkan kaki di salah satu pulau yang masuk wilayah Kabupaten Raja Ampat, yaitu Pulau Jefman yang berada di distrik Salawati. Pulau yang dibelah landasan pesawat terbang dari ujung ke ujung itu banyak ditumbuhi pohon Sukun. Kini Bandara di pulau Jefman terbengkalai, tak dipakai lagi karena telah pindah ke Bandara Dominik Eduard Osok di Sorong. Sukun dari Jefman tidak lagi menjadi buah tangan terbang ke pulau-pulau lainnya.
Berdasarkan apa yang disampaikan teman melalui telepon saya mulai menuliskan garis besar film dokumenter yang hendak dibuat dan jadwalnya. Setelah semua disepakati, dengan menumpang pesawat dari maskapai yang sekarang tak lagi beroperasi, saya berangkat ke Sorong melalui Manado. Sengaja saya lewat Manado agar bisa mampir, memanfaatkan waktu kira-kira dua belas jam melepas kerinduan kepada suasana Manado yang cukup lama tak saya kunjungi.
Jam sembilan pagi dengan menumpang pesawat berbaling-baling, saya meninggalkan Bandara Sam Ratulangi menuju Bandara Dominik Eduard Osok, Sorong. Tengah hari pesawat mendarat di Sorong dan kapal cepat yang melayani penyeberangan dari Sorong ke Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat ternyata sudah berangkat. Akhirnya saya harus menginap semalam di Sorong dan saya memilih kawasan tepian pantai yang kerap di sebut sebagai BP atau Beton Panjang untuk menginap. Hotel kecil dekat depo Pertamina Sorong memang strategis karena gampang mencari angkutan untuk pergi ke segala penjuru, di tepi pantai pun banyak tenda-tenda penjual ikan bakar sehingga tak susah jika lapar dan hendak mencari makan.
Esoknya dengan diantar oleh kawan lama saya pergi ke pelabuhan penyeberangan agar tak ketinggalan kapal. Ada dua jenis kapal yang melayani jalur Sorong- Waisai, yaitu kapal ekpres dan kapal biasa. Saya memilih kapal ekpres agar segera bisa sampai ke Waisai. Kapal penuh dan dari perbincangan penumpang-penumpang lain ternyata di Waisai akan segera digelar festival laut dan travel mart. Pantas, dan tak lama kemudian ruang terbuka di buritan kapal tempat yang sengaja saya pilih menjadi ramai. Muncul anak-anak muda yang saya kenal di televisi, Fungky Papua. Ternyata grup dancer yang terkenal lewat acara popularity show di salah satu TV swasta diundang untuk mengisi acara Festival Laut yang dipusatkan di Pantai WTC (Waisai Tourism Centre).
Dengan bekal kamera di tangan, saya terus mengabadikan perjalanan antara Sorong-Waisai. Tak lama kemudian ada yang menegur, “Liputan ya bang”. Saya mengangguk aja dan kemudian yang menegur itu menjabat tangan saya. Ternyata banyak kru stasiun televisi swasta di Jakarta satu kapal dengan saya ramai-ramai menuju Raja Ampat.
Ketika sampai di Pelabuhan Waisai, arus penumpang turun seperti tertahan. Saya lihat di depan pintu keluar banyak polisi berjaga. Ternyata penumpang ditahan sementara di dalam, karena memberi kesempatan kepada Anang dan Ashanti untuk turun duluan. Wah ternyata saya sekapal dengan Anang dan Ashanti, namun selama perjalanan tak terlihat karena mereka berada di ruang VIP.
Dengan menumpang motor jemputan saya menuju kantor PMU Coremap (Coastal Resources Management Programme). Belum ada mobil angkutan umum di Waisai, sehingga motor (ojek) adalah kendaraan penumpang utama. Dan karena hotel-hotel (juga wisma) penuh semuanya maka saya putuskan untuk menumpang tinggal di kantor Coremap, tidur dengan slepping bag di salah satu ruang kerja. Tapi buat saya nyaman-nyaman saja karena tersedia sambungan internet selama 24 jam.
Hari pertama dan kedua festival laut Raja Ampat saya tidak saksikan karena harus pergi ke daerah yang masih satu pulau dengan Waisai namun berbeda distrik. Dengan menumpang kapal speed boat saya dan beberapa teman dari Waisai pergi ke desa Sawingrai dan beberapa desa tetangganya. Arus dan gelombang laut di kepulauan Raja Ampat sebenarnya susah ditebak, terkadang tenang namun tiba-tiba bergelombang dan berarus. Untung saja motorisnya adalah motoris berpengalaman yang sudah hafal karakter laut yang dilewatinya. Meski begitu terkadang diatas speed boat terasa menunggang Kangguru.
Desa-desa di Raja Ampat semua terletak di pinggiran laut (pantai), sebelum memasuki kawasan pemukiman kita akan disambut dermaga dengan jalan dari kayu memanjang ke arah daratan. Dermaga menjadi tempat favorit untuk anak-anak bermain dan memancing ikan. Dari atas dermaga memandang ke bawah terlihat bayang hitam bergerak, wah ternyata gerombolan ikan bermain diantara tiang-tiang dermaga, luar biasa banyaknya.Di Sawingrai tak jauh dari dermaga ada guest house sederhana berdinding bambu dan beratap rumbia. Di depan ada balkon menghadap laut tempat para wisatawan bisa menikmati atraksi fish feeding, memberi makan ikan yang seolah-olah tak takut pada manusia.
Dari Sawingrai kami menuju Yenbesser, di dermaga depan kampung saya menyaksikan proses pembesaran Lobster dalam jaring yang digantung di dermaga. Anakan Lobster di tangkap dari lautan lalu dipelihara sampai ukuran tertentu sehingga memperoleh harga yang terbaik. Tak berapa jauh dari kampung ada warga yang tengah merintis pembangunan quest house sederhana, berdinding bambu dan beratap rumbia. Quest house ini akan memberi layanan paket bird watching. Pulau Waigeo dikenal mempunyai burung endemik antara lain Cendrawasih Merah.
Meski menyenangkan namun perjalanan laut terasa melelahkan. Sudah lama badan tidak terterpa panas terik dan angin laut yang kencang. Hari agak gelap ketika kami sampai di pantai WTC Waisai. Setelah mandi, tersaji menu makan malam papeda ditemani sayur pahit (campuran kangkung dan daun pepaya) serta ikan kuah woku hasil masakkan teman dari Manado. Sajian santap malam menjadi bekal indah untuk terlelap mengarungi malam.
Esok paginya saya kembali diajak mengarungi lautan menuju Manyaifun, perjalanan yang konon akan melewati kawasan yang disebut sebagai Wayag Kecil, daerah dengan taburan pulau-pulau Karang Kecil yang menjulang. Saya membayangkan salah satu scene dalam film James Bond yang diambil di Thailand. Dan benar ketika sampai di wilayah itu serasa memasuki negeri lain. Lautnya tenang dan bening, saat mesin motor boat dimatikan suasana sekitar terasa sunyi, syahdu sekali. Sesekali ada burung melintas di atas lautan, berpindah dari pulau satu ke pulau lainnya. Rasanya pingin berlama-lama disitu, menceburkan badan dari air laut yang jernih.
Namun karena diburu waktu, kami tak bisa berlama-lama di situ. Speed boat segera dipacu menuju Manyaifun, namun ternyata kampung itu kosong penduduknya. Kampung kecil berisi 20-an kepala keluarga tengah merayakan hajatan di kampung lainnya. Hanya tertinggal beberapa warga dan anak-anak. Angin mulai bertiup kencang dan langit semakin menghitam. Motoris mengingatkan agar segera berangkat karena takut terjebak hujan, arus dan gelombang.
Dalam perjalanan pulang kami singgah terlebih dahulu ke Meosmanggara untuk bertemu dengan beberapa warga sekaligus mengambil ikan asin Tenggiri. Di dermaga Meosmanggara banyak anak-anak bermain, meloncat dari dermaga salto dan meluncur indah ke lautan di bawahnya yang jernih dan dalam. Di dalam air anak-anak bermain-main diiringi liukkan gerombolan ikan yang terlihat menghitam dari atas dermaga.
Tak lama kami di Meosmanggara. Niatnya akan langsung pulang menuju Waisai, namun motoris mengingatkan untuk mengisi tambahan bahan bakar sehingga kami mampir di Pulau Paam. Pulau yang mempunyai pelabuhan cukup besar dan disingahi oleh kapal perintis yang melayani jalur hingga sampai Halmahera. Setelah mengisi bahan bakar dan meminum kopi hangat kami segera berpacu pulang ke Waisai. Perjalan pulang yang berbau spekulasi karena hari mulai gelap. Dan bagai horor, sebagian perjalanan ditempuh dengan hati yang dag-dig-dug. Arus mulai kuat, speed boat meraung-raung melawan arus. Dan gelap mulai pekat, hampir tak nampak terang disekitar. Entah bagaimana motoris bisa tahu mana lautan dan mana pulau-pulau kecil sehingga tak menabrak dinding pulau karang. Berbekal senter tangan yang dipegang oleh assisten motoris di haluan depan, speed boat terasa tidak melaju ke depan melainkan seperti terus terhempas ke belakang.
Kekhawatiran merebak di hati, sebab lautan Raja Ampat banyak menyimpan karang meja, yang besar dan tajam. Apabila mesin speedboat mati dan terhempas diatas karang maka bisa dipastikan badan speedboad yang terbuat dari fiber akan terbelah. Namun untunglah dengan perjuangan yang maha berat, assisten motoris yang basah kuyup terterpa cipratan air, akhirnya dermaga Pantai WTC bisa dicapai.
Karena esok hari minggu, maka kami tak akan kemana-mana. Dan untunglah di pantai WTC ada keramaian. Siang itu akan diadakan parade perahu hias di lautan. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ketika saya sampai dipinggir pantai telah terparkir rapi beberapa perahu gandeng yang akan mengikuti parade. Di pinggir pantai peserta bersiap-siap dengan pakaian daerah dan aneka tetabuhan.
Tak lama kemudian rombongan peserta menaiki panggung yang dibuat diantara dua perahu. Perlahan perahu bergerak menuju laut dan kemudian berputar-putar di depan dermaga WTC. Peserta menari, menyanyi diiringi musik tradisional, berputar mendekat dan menjauh dari penonton yang bersorak-sorai di pinggir pantai. Ramai para juru foto dan juru kamera mengabadikan kejadian yang langka itu. Dari antara yang menenteng kamera-kamera, saya melihat banyak wajah-wajah yang pasti tidak berasal dari Indonesia.
Sebenarnya selama seminggu lebih berada di Raja Ampat, masih banyak perjalanan lain ke pulau-pulau yang bertaburan hingga mendekati Sorong, namun ceritanya akan terlalu panjang. Pendek kata meski saya tak menyelami lautan di Raja Ampat namun tetap saya bisa menangkap keindahannya. Kekayaan ikan laut Raja Ampat bisa dilihat di pasar ikan yang letaknya tak jauh dari Pantai WTC. Penduduk raja Ampat juga beragam sehingga kebudayaannya penuh warna dan berbeda dengan apa yang banyak dibayangkan orang tentang Papua.
Saya tidak menyesal meskipun hanya sempat melihat indahnya kehidupan bawah laut dari atas speedboat atau dermaga. Ketika harus meninggalkan Raja Ampat mau tak mau saya mengatakan kepada diri saya sendiri, kalau MAW Brouwer mengatakan Sunda di ciptakan saat Tuhan tersenyum, maka Raja Ampat adalah sepotong surga yang dilepaskan Tuhan di tanah Papua.
Pondok Wiraguna, 13 Februari 2012
Sumber: Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar