Grand Design Dalam Konfigurasi Politik Global Abad 21
DALAM perspektif geopolitik dan geostrategik internasional saat ini,
’’menjual’’ potensi wilayah Maluku Barat Daya adalah penting untuk menggugah
Pemerintah Pusat agar lebih memedulikan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat di pulau-pulau kecil yang merupakan beranda depan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Lepasnya Timor-Timur dan menjadi Negara berdaulat
(Republica Democratica de Timor Lorosae) pada awal September 1999 hingga Mei
2002, dicaploknya Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia pada akhir 2002, kasus
Pulau Rupat dan Kasus Ambalat di paruh 2003, mesti menjadi catatan kelam bagi
elite pemimpin bangsa ini.
Artinya, bicara Indonesia bukan
hanya Jawa, atau Jakarta Sentris. Harga diri dan keutuhan NKRI ada di
pulau-pulau terluar, termasuk di Maluku. Pulau Lirang, Pulau Wetar, Pulau
Kisar, Pulau Leti, Pulau Moa, Pulau Meitimiarang, dan Pulau Masela di Kabupaten
Maluku Barat Daya, Maluku, merupakan hamparan pulau-pulau yang berbatasan
langsung dengan Timor Leste dan Australia, dua sekutu Amerika Serikat (AS) di
Pasifik Selatan.
Pada dekade 1980-an, pesawat
Australia acap kali landing (mendarat) di lapangan terbang rumput Dusun Siota
dan Dusun Nyama, Desa Klis di Moa, Kecamatan Moa-Lakor. Sebelum referendum
(jajak pendapat) di Timtim, Agustus 1999, sebuah helikopter (diduga) milik
Interfet mendarat darurat di Lapter Jhon Bakker, Kisar. Sebelum terbunuhnya
Mayor Alfredo Reinado dalam sebuah kudeta berdarah di Dili, pejabat AS di
Pentagon mengeluarkan komentar bahwa mereka melirik Wetar sebagai pangkalan
militer. Medio 2012, Presiden Barack Obama memerintahkan penempatan 3000
personel marinis AS di Dili dan Darwin, utara Australia.
Tujuannya ganda, menghadang
invasi militer China sekaligus memantau pergerakan jaringan terorisme melalui
jalur selatan dunia. Bicara jalur selatan, Selat Ombay dan Selat Wetar bakal
memegang peranan penting di abad 21 ini. Dua selat ini menjadi jalur lintas
kapal selam nuklir AS yang hendak ke Subik dan Klark, pangkalan militer AS di
Filipina dan ke Okinawa, markas militer AS di Jepang.
Dari simpul-simpul konfigurasi
politik ini, perairan MBD bakal menjadi entry gate (pintu masuk) dan exit gate
(pintu keluar) bagi kapal-kapal perang AS dan sekutunya. Karena itu, dalam
pendekatan geopolitik, selayaknya kabupaten MBD menjadi fokus perhatian Pempus,
terutama jajaran TNI-Polri. Tapi, ingat, bukan dengan pendekatan keamanan
(security approach) yang berlebihan, tanpa dibarengi peningkatan kesejahteraan
(prosperity approach). Bahasa idelogisnya hanya pemerataan pembangunan dan
keadilan pembagian ’’roti pembangunan’’.
Dengan kekayaan melimpah di Blok
Masela, Blok Sermata, Blok Leti, dan Blok Wetar, serta serbuk-serbuk emas dan
tembaga yang menumpuk di gunung-gunung Wetar dan hutan-hutan Pulau Romang, MBD
punya peranan krusial bagi Maluku dan NKRI di abad ini. Memang benar kata Fredy
Latumahina, politisi senior Partai Golkar, bahwa cengkih pala adalah masa lalu,
masa depan Maluku adalah laut dan kekayaan alam di dalamnya.
Kepentingan AS dan Australia
relatif besar di MBD, selain di Timika, Papua. PT Gemala Borneo Utama di Romang
dan PT Batutua Tembaga Raya di Wetar merupakan ’’kaki tangan’’ perusahaan
multinasional di Australia. Dalam pengelolaan saham Blok Masela, jika Sheel
Coorporation memperoleh 30 persen di bawah Inpex Ltd, itu pun merupakan bagian
kepentingan bisnis AS. Inpex itu perusahaan Jepang yang masuk jaringan bisnis
investor AS.
Kisar merupakan salah satu
kecamatan tertua di Maluku persis setelah bergabung di Maluku melalui Ordonansi
1925. Sebelum itu, Wetar, Leti, dan Kisar menjadi pusat pemerintahan bentukkan
pemerintah kolonial Belanda, Onderafdeeling Zuid Wester Eilandon, yang tunduk
dari Kupang. Sebelum itu, benteng Delfhaven dan Vollenhaven dibangun untuk
siaga Belanda menghadapi Portugis yang kemungkinan datang dari Timor. Sekutu
pun menjadikan Kisar dan Damer sebagai pusat komando terendah untuk memantau
gerak-gerik Jepang yang ingin menginvasi Australia semasa Perang Dunia II,
1939-1945. Tahun 1950-1952, kantor telekomunikasi di Wonreli yang dibangun
Belanda, digunakan untuk membuka hubungan dengan dunia luar, termasuk Jakarta,
setelah Kantor perhubungan Maluku di Ambon disegel militer Indonesia akibat
memanasnya konstelasi politik persis saat pemberontakkan RMS di Ambon dan
Seram.
Begitu strategisnya Kisar,
Romang, dan Wetar sejak dulu hingga kini membuat pentingnya grand design baru
untuk memekarkan tiga pulau itu untuk menjadi daerah otonom baru (DOB) di
Indonesia. Cakupan ruang untuk dipercakapkan jelas dan legal karena Kementerian
Dalam Negeri (Kemdagri) tak memberikan moratorium bagi wilayah perbatasan
menjadi DOB. Mungkin setelah pemekaran Kisar, Romang dan Wetar menjadi DOB bersama
Kepulauan Lease, Seram Utara, dan Tanimbar Utara, Wetar dikembangkan menjadi
Daerah Otorita untuk mempermudah akses ke Dili.
Sebab, praktik ileggal fishing,
illegal logging, dan illegal oil kini marak dan memunculkan sejumlah kerawanan
di perairan Lirang, Wetar, Pulau Kambing (Atauro) dan Timor Besar. Apalagi,
hingga kini belum ada agreement batas wilayah laut antara RI dan Timor Leste.
Dengan kekuatan dana dari Blok
Masela dan Blok Sermata, Pulau-pulau Babar pun kelak layak meminta diri untuk
membangun ’’mahligai kehidupan baru’’. Dukungan sumber daya manusia (SDM) tak
perlu diragukan.Sebab, SDM MBD tersebar dari Masela hingga Wetar. Grand design
politik dalam kurun 25-50 tahun ke depan akan menjawab wacana pembentukkan
Provinsi MBD.
Sedikitnya ada tujuh alasan fundamental untuk menjawab wacana
dimaksud. Aspek pertama, bicara pulau-pulau perbatasan di Maluku, hanya MBD
dari pendekatan geografis dan geokultural yang layak untuk dicakapkan. Goris
Keraf, pakar bahasa nasional mengelompokkan rumpun bahasa Kisar dan sekitarnya
dalam struktur kebahasaan Timor. Bahasa Galoli di Wetar, Bahasa Maaro di Kisar,
dan Bahasa Leti serupa dengan bahasa yang digunakan penduduk Timor Leste di
distrik (kabupaten) Atauro, Lautem dan Baucau.
Kedua, dari pendekatan etnografi.
MBD baru masuk bergabung dalam yuridis administratif Maluku pada 1925,
sementara sejak 1911 bergabung dalam Keresidenan Timor (Residentie van East) di
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kebudayaan orang MBD merupakan perpaduan
kebudayaan Timor dan Luang (Mede Melay Patra Lgona/Mede Melay Patar Luono).
Filosofi yang tak lekang waktu untuk membingkai kebhinekaan itu, yakni Nuspati
Rai Patatra (Luang) dan Nohopai’ik Rai Pakakar (Kisar/Meher). Akulturasi
kebudayaan Timor, Luang China, dan India melahirkan karya tradisional tenunan,
penanggalan (kalender) hindu, penamaan (toponimi), arsitektur hindu, pemakaian
nama hindu, astronomi hindu, yang tak seratus persen padu dengan kebudayaan
alifuru yang mengakomodasi kristal-kristal kebudayaan Ternate dan Maluku Tengah.
Patasiwa-Patalima mengental dan
ikut berbenturan dengan warna kebudayaan dalam sistem hukum adat,
Lorlim/Urlim-Lorsiu/Ursiu di kepulauan Key. Tapi, kebudayaan masyarakat Key pun
terbentuk dari sisa-sisa kebudayaan Hindu yang disebarkan punggawa-punggawa
Kerajaan Majapahit dari Bali.
Ketiga, pendekatan geografis dan
kesatuan masyarakat hukum adat. Etnis Kisar dan kebudayaan masyarakat
pulau-pulau sekitarnya masuk jalur selatan, bukan tenggara. Sebutan tengara
raya itu absurd (kabur) dan xenophobia. Profesor Koentjaraningrat
mengelompokkan orang Kisar, Wetar, Romang, Damer, Sermata dan Tanimbar dalam
kesatuan hukum adat Timor, bukan Maluku. Salah besar, orang Kisar dan
sekitarnya menglaim diri mereka sebagai orang tenggara. Indikatornya Kisar dan
Romang (dulu juga Wetar dan Damer) masuk kecamatan pulau-pulau terselatan
(paling selatan).
Keempat, dalam konfigurasi
politik lokal Maluku, orang MBD menjadi korban ’’kecelakaan sejarah’’ (historis
accident) akibat imbas stigma RMS. Padahal, biar miskin, terisolir, dan tak
dipedulikan pemerintah selama 60 tahun lebih, orang MBD tak pernah menuntut
merdeka. Kalau pun ada, kapasitas orang itu tak jelas dan patut dipertanyakan.
Ibarat ’’gajah bertarung pelanduk mati’’, orang MBD menjadi kelompok inferior
dari segregrasi pemikiran yang masih saja mendikotomikan aura politik Lease
(Ambon, Saparua, Nusalaut) dan Tenggara. Bicara Tenggara itu sekmentasi yang
bermuara pada dominasi orang Key, meski leluhur orang Key ada yang datang dari
Luang, Kecamatan Mdona Hyera, MBD. Politik identitas yang diagung-agungkan
hanya memosisikan peran politik orang MBD sebagai kelompok penonton, bukan
faksi petarung.
Kelima, untuk mematikan ruh-ruh
separatisme melalui wilayah perbatasan di Maluku. Setelah Ambon dan sebagian
wilayah Maluku diporak-porandakkan dalam konflik massif 1999-2004 dan
pertikaian sporadis antarkampung akhir-akhir ini, isu separatisme sengaja
didiamkan. Tapi, bahaya laten separatisme tak akan mati, ia tak lekang oleh
waktu. Karena itu, mematikan ruh-ruh sectarian itu harus dengan penguatan
masyarakat di pulau-pulau perbatasan. MBD punya kerawanan seperti itu.
Memekarkan MBD menjadi sebuah provinsi anyar menjadi solusi di tengah
percaturan politik nasional yang menjadikan Maluku lahan kepentingan militer,
lahan bisnis elite politik dan birokrat, dan sasaran neokolonialisme dan
neoliberalisme dengan tangan-tangan kapitalismenya.
Keenam, mengantisipasi bakal
terwujudnya teori Jhon Naisbit, bahwa abad 21 merupakan kebangkitan kembali
komunisme. Dan pasifik menjadi arena pertarungan besar kutub AS (NATO) dan
kutub China-Korea Utara. Itu juga upaya menghindari jangan sampai Ligitan Jilid
II terjadi di Maluku, khususnya di MBD.
Dan ketujuh atau terakhir,
pembentukkan Provinsi MBD semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat di
pulau-pulau perbatasan Maluku. Pemancangan bendera merah putih, pembangunan
monumen perbatasan, dan survei-survei kelautan hanya bagian kecil dari upaya menjaga
kedaulatan di tapal batas NKRI. Sejatinya nasionalisme keindonesiaan akan tetap
tumbuh jika pemberdayaan masyarakat diprioritaskan. Pembentukkan DOB wilayah
perbatasan merupakan urgensi, bukan kepentingan elite meski tak bisa dimungkiri
setiap pemekaran daerah selalu menjadi target para elite politik. Jangan sampai
MBD tetap menjadi kawasan antah berantah, dan imbasnya Pempus akan kembali
memungut rasa malu dari bekas provinsi ke-27 RI, Timor Leste. Apapun nama
provinsinya, MBD tetap ada dalam bingkai NKRI dan Merah Putih menjadi harga
mati yang harus dipertahankan hingga langit runtuh dan dunia hancur lebur.
Kalwedo, Uplera Nodi Nora Ita.!. (RONY SAMLOY)
Sumber: www.beritamaluku.com Minggu,
12 Maret 2013
Janganlah Engkau Berharap Lebih pada Indonesia, Tapi Berbuatlah Lebih untuk Kemajuan dan Kejayaan Indonesia Tercinta. Karena Cinta Tanah Air Adalah Sebagian dari Iman. Blog ini berisi tentang info, masukan, wacana, kritik, impian dan segala hal yang bermanfaat untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik di masa depan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan Resmi Menjadi Provinsi Otonom
JAKARTA (25/07/2022) - Pada tanggal 25 Juli 2022 telah disahkan tiga Undang-Undang (UU) terkait pembentukan provinsi baru di Papua, yaitu ...
-
Kalimantan adalah pulau terluas dari ribuan pulau di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, luas pulau Kalimantan seluruhnya adalah 743.3...
-
Provinsi Sumatera Utara memiliki luas 72.981,23 km 2 dan terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota. Jumlah penduduknya adalah 13.937.797 jiwa m...
-
JAKARTA, KOMPAS.com — Jumlah provinsi di Indonesia akan bertambah menjadi 34 provinsi. Penambahan satu provinsi baru itu sudah disepak...
Sangat setuju....
BalasHapusTulisan yang cukup memukau. Asalkan semua elemen publik jangan sampai lalai sehingga mengakibatkan pemekaran hanya sekedar pemenuhan birahi politik orang2 serakah.
BalasHapusPemikiran brilyan seorang intelektual muda MBD. Arah dan substansinya jelas diiringi argumentasi yang padat. Perlu disupport semua elemen, asal saja pengawalannya jangan setelah realisasi pembentukan lalu dibiarkan. Harus diperhatikan juga, sebelum ini tak mustahil kaum avonturir sudah " pasang kuda2 ".
BalasHapusSaya tertarik dengan artikel ini. Bisa jumpakah untuk bincang lebih lanjut. Saya sedang di Ambon.
BalasHapus