Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram
dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah
melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir
1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah
bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering
disebut dengan Palihan Nagari. Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal
keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian
bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin
Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti
ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui
pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari
Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku
Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram.
Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan
peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari
Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755,
Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta
di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu
tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober
1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan
dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa
perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal
berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas
banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung
Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari
Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan
pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap.
Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7
Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6
Tahun 2004
BATAS WILAYAH
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan
satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat
II lainnya yang berstatus Kabupaten
Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah utara : Kabupaten Sleman
- Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman
- Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
- Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
Wilayah Kota Yogyakarta
terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I
24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m
diatas permukaan laut
KEADAAN ALAM
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari
barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1
derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu:
- Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
- Bagian tengah adalah Sungai Code
- Sebelah barat adalah Sungai Winongo
LUAS WILAYAH
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan
daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah
Propinsi DIY. Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45
Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per
Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000 jiwa/Km²
TIPE TANAH
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami
berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang
berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis
besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan
perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap
tahun mengalami penyusutan. Data tahun
1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75)
karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
IKLIM
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn
dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata
24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin
muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada
musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° -
140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam
DEMOGRAFI
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir
tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000
tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat
kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka
harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia
72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun.
Sumber: yogyatugu.blogspot.com
Makasih sob udah share , blog ini sangat membantu sekali .............
BalasHapusbisnistiket.co.id